System Pemerintahan Islam
“Khilafah
System Pemerintahan Islam”
Oleh : Muhammad Syahrum
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah.
Sistem
pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan yang menggunakan Al Quran dan
Sunnah sebagai rujukan dalam semua aspek hidup, seperti dasar undang-undang,
mahkamah perundangan, pendidikan, dakwah dan perhubungan, kebajikan, ekonomi,
sosial, kebudayaan dan penulisan, kesehatan, pertanian, sain dan teknologi,
penerangan dan peternakan. Dasar negaranya adalah Al Quran dan Sunnah. Para pemimpin dan pegawai-pegawai pemerintahannya adalah
orang-orang baik, bertanggung jawab, jujur, amanah, adil, faham Islam,
berakhlak mulia dan bertakwa. Dasar pelajaran dan pendidikannya ialah dasar
pendidikan Rasulullah, yang dapat melahirkan orang dunia dan orang Akhirat,
berwatak abid dan singa, bertugas sebagai hamba dan khalifah Allah.[1]
Istilah
khilafah, memiliki dua arti suksesi sekaligus. Pertama,
suksesi politik yang sah dalam pemerintahan agama, bukan politik
pemerintahan despotik ala dinasti Abbasiyah atau Umawiyah. Kedua,
suksesi ontologis, bahwa setiap manusia secara filosofis dan ontologis
merupakan pengganti Tuhan di dunia. Dan keduanya tidak ada paradoksi, bahkan
suksesi politis merupakan kelanjutan vertikal dari suksesi ontologis. Otoritas
legislatif dan pemerintahan (tasyri’i) seharusnya diartikan sebagai
kelanjutan dari otoritas formatif (takwini). Oleh karena itu, secara
global, khilafah Tuhan artinya penyembahan kepada Tuhan dan ketaatan
pada hukum-Nya. Khalifah Tuhan adalah seseorang yang punya kelayakan
sebagai khalifah, bukan semua manusia. Oleh karenanya, kalau kita menerima
demokrasi, itu harus dianggap sebagai salah satu metode dependen pada syariat
Islam. Adapun kesejajaran ontologis (suksesi ontologis), konsep ini sama sekali
tidak mengandung atau menuntut penafian tahapan-tahapan Ilahi dalam politik
Islam yang bernorma taqwa.[2]
Istilah
kedua adalah syura. Sebagian menyangka bahwa syura berarti
sekularisme, padahal syura (yang secara etimologis berarti konsultasi)
dalam Islam tidak dihadapkan pada syariat. Syura adalah kerja sama dan
partisipasi muslimin khususnya orang-orang ahli, di dalam pengaplikasian syari’at
dan jaminan hak-hak sosial. Musyawarah bukan berarti voting umum atau
semacamnya dalam menerima atau menolak wahyu dan syari’at Islam yang mencakup
pokok, cabang, dan tujuannya. Oleh karena itu, Al-Quran menyebutkan “musyawarah
antara mereka sendiri” itu untuk “perkara mereka”, bukan untuk perkara agama
yang tidak perlu dikonsultasikan.
Di
samping itu, secara logis, semestinya konsultasi hanya bisa mencapai tujuannya
jika dilakukan kepada orang-orang yang ahli dan terpilih saja, bukan kepada
orang kebanyakan. Konsultasi umum memang diperbolehkan Islam pada “tempat
kosong” selama tidak keluar dari kerangka Islam. Hanya saja, boleh bukan
berarti dianjurkan. Musyawarah umum hanya melahirkan suara terbanyak yang tidak
bisa dijadikan bukti bahwa itu harus dilaksanakan. Musyawarah umum hanya
berlandaskan tendensi umum yang belum tentu benar.
Istilah
ijma’ (konsensus), yang terkadang disamakan dengan referendum laiss.
Asumsi ini jelas tidak berdasar. Semua mazhab Islam sepakat dan meyakini bahwa ijma’
yang dimaksud di atas adalah konsensus para ulama atau semua orang yang
bersyariat Islam dalam menyingkap hukum Tuhan, bukan konsensus orang banyak
dalam melahirkan keputusan apapun. Ijma sebagai perantara ‘dependen’.
Apabila tidak mencerminkan pandangan ma’shum (Rasulullah dan orang
suci), kesepakatan yang ada, tidak bisa memiliki nilai argumen independen untuk
dilaksanakan.
Istilah
ijtihad (usaha sungguh-sungguh untuk mengeluarkan hukum syar’i).
Syarat pertama dalam berijtihad adalah tidak berlawanan dengan syari’at Islam,
bahkan harus bertujuan menyingkap hukum Tuhan berlandaskan sumber-sumber agama.
Maka, jangan pernah bermimpi mengartikannya sebagai institusi demokrasi.
Ringkasnya,
istilah-istilah tersebut hanya menjelaskan partisipasi dan unsur manusia dalam
beberapa aktivitas yang sama sekali tidak keluar dari kerangka Islam. Jika
demokrasi diartikan aktivitas partisipatis semacam ini, Islam menerimanya. Jika
tidak, secara totologis Islam menolaknya.
Dihadapan
perbedaan, pendirian kita sebenarnya cukup jelas. Islam pasti menjamin seluruh
keistimewaan sistem demokrasi dan sekular Barat dan pada saat yang sama, Islam
terjaga dari kekurangan sistem Barat tersebut. Islam melegitimasi pemerintahan
dalam bentuk kenabian, keimaman, dan kefaqihan dengan firmannya, “Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Tuhan, Rasulul, dan para pemimpin kalian” (QS
An-Nisa: 59). Tuhan juga sangat menekankan masalah kepemimpinan bahkan
menyatakan bahwa seandainya Nabi tidak menyampaikannya, seluruh aktivitas
risalah beliau dianggap tidak ada. “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang
telah diturunkan kepadamu. Jika tidak kamu sampaikan, maka kamu dianggap tidak
pernah menyampaikan risalahmu…” (QS Al-Maidah: 67). (Ayat ini turun
berkenaan dengan peristiwa Al-Ghadir yang cukup terkenal. Pada saat itu,
sepulang dari haji wada’, Rasulullah mendapatkan perintah dari Tuhan
untuk menyampaikan permasalahan suksesi kepemimpinan kepada yang hadir.
Lahirlah ucapan terkenal beliau tentang Ali, “man kuntu maulahu fa hadza
Aliyun maulahu”, siapapun yang menjadikan aku sebagái pemimpinnya, inilah
Ali sebagai pemimpinnya[3].
Setiap
zaman memiliki sejarah dan peradaban yang berbeda, ide-ide besar dan produk
pemikiran yang berbeda demikian halnya dengan tokoh-tokoh yang ditinggalkannya
juga berbeda. Islam yang diklaim sebagai agama yang komprehensif, baik dari
kalangan intern maupun kalangan ekstern -bahkan orientalis sekalipun mempunyai
kisah sendiri menyangkut sejarah dan ke-tatanegaraan Islam. Bermula sejak Nabi
saw telah memiliki konsep dasar dalam bernegara, terbukti dengan adanya
penyebutan dalam sejarah yaitu adanya negara Madinah, yang dianggap merupakan
praktek bernegara pertama yang dilakukan Nabi saw, sehingga dengannya dapat
kita nyatakan, bahwa penaklukan yang dilakukan bangsa Arab di abad ke-7 terus
memainkan peranan penting dalam sejarah umat manusia hingga saat ini. Lebih
jauh dari itu (berbeda dengan Isa) Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi
juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap
gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politik dan
ketatanegaraannya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu1 dengan konsep diantaranya, Hak
Azazi Manusia (HAM), serta penanaman sikap tenggang rasa antar sesama umat
beragama, dikatakan demikian, karena pada saat itu umat Yahudi juga berdampingan
dengan umat Islam di Madinah. Dalam Al-Quran sendiri tidak ditemukan adanya
petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara bernegara, melainkan
hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad.SAW wafat tanpa meninggalkan pesan siapa yang harus
menggantikannya sebagai pemimpin umat. Beberapa kerabat Rasul saw berpendapat
bahwa Ali bin Abu Thalib -misan dan menantu yang dipelihara Muhammad sejak
kecil- yang paling berhak. Namun sebagian kaum Anshar, warga asli Madinah,
berkumpul di Balai Pertemuan (Saqifa) Bani Saidah. Mereka hendak mengangkat
Saad bin Ubadah sebagai pemimpin umat. Ketegangan terjadi. Abu Bakar, Umar dan
Abu Ubaidah datang untuk mengingatkan mereka. Perdebatan terjadi, sampai dua
tokoh Muhajirin dan Anshar -Abu Ubaidah dan Basyir anak Saad- membaiat Abu
Bakar. Umar menyusul membaiat. Demikian pula yang lainnya. Pertikaian selesai.
Selasa malam menjelang salat Isya -setelah Muhammmad saw dimakamkan- Abu Bakar
naik ke mimbar di masjid Nabawi. Ia mengucapkan pidato pertamanya sebagai
khalifah. Pidato yang ringkas dan dan berkesan di kalangan umat. Itu terjadi
pada Juni 632, atau 11 Hijriah.[4]
B. Rumusan
Masalah.
Dengan
melihat latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas
beberapa masalah, yaitu :
1.
Bagaimana
Khilafah Sistem Pemerintahan Islam?
2.
Apa yang
menjadi kendala Sistem Pemerintahan Islam?
C. Tujuan
Penulisan.
Adapun
tujuan penulis ialah :
1.
Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan Islam.
2.
Untuk mengetahui Faktor kendala Sistem Pemerintahan
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Khilafah
Sistem Pemerintahan Islam.
1.
sejarah
periode kekhilafahan.
Sejarah mencatat bahwa dunia politik dan ketatanegaraan
bukan hanya dimulai sejak turunnya Islam, namun jauh sebelum itu. Dalam kisah
Nabi-Nabi terdahulu, manusia sudah mengenal sistem pemerintahan, seperti zaman
Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim. Dari perspektif Al
Qur’an, siklus sejarah manusia dan peradabannya yang demikian itu kemudian
menetapkan bahwa Al Qu’ran telah menjadi saksi atas "hukuman sejarah"
yang telah ditimpakan kepada masyarakat, bangsa-bangsa pemilik peradaban
terdahulu. Islam pernah berada pada posisi puncak peradaban dunia sampai tiba
saatnya mengalami kemunduran, persis seperti peradaban-peradaban masa lampau sebelum
Islam hingga runtuhnya Marxisme di negara-negara bekas Uni Soviet pada dasa
warsa terakhir milenium kedua[5].
Sebagian peradaban masa lampau telah musnah dan
dimusnahkan setuntas-tuntasnya hingga yang tersisa tinggal artefak-artefak
material dan kenangan akan kejayaan kognisi intelektual dan spiritualnya.
Dikatakan sebagian karena tidak atau belum seluruh dunia dihancurkan. Al Qur’an
membenarkan akan "hukuman sejarah" (baca: kehancuran) itu. Mengapa
hukuman sejarah ditimpakan? "Katakanlah, itu dari (kelalaian) dirimu
sendiri" (QS. 3:165, juga 3:139-140). Oleh sebab dosa-dosa dan
kelalaian kolektif manusianya, sebuah peradaban dimusnahkan agar menjadi bahan
permenungan generasi berikutnya. Munculnya kehendak untuk introspeksi dan
iktikad untuk memperbaiki diri, menjamin -setidaknya demikian pesan Al Qu’ran-
sebagian peradaban masih hidup dan bertahan. Itulah grand design Tuhan, Sunnatullah
yang secara sinergis dan relasional dipersaksikan dalam Al Qur’an.
a)
Periode
Rasulullah saw (+/- 610 – 632 M)
SALAH satu hal mengenai Islam yang tidak
mungkin diingkari yakni pertumbuhan dan perkembangan agama bersama dengan
pertumbuhan dan perkembangan sistem politik dan ketatanegaraannya. Sejak
Rasulullah hijrah ke Yatsrib -yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah- hingga
saat ini dalam wujud sekurang-kurangnya kerajaan Saudi Arabia dan Republik
Islam Iran, Islam menampilkan dirinya sangat erat dengan corak ketatanegaraan.
Menurut Nurcholish Madjid, pembicaraan
antara hubungan agama dan Negara dalam Islam selalau terjadi dalam suasana yang
stigmatis, hal ini dikarenakan (1) hubungan antara agama dan Negara dalam Islam
adalah yang paling mengesankan sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. (2)
sepanjang sejarah, Muslim dan non-Muslim (Barat) adalah hubungan penuh ketegangan.
Disebabkan oleh hubungan yang traumatic.[6]
(1).
Piagam Madinah
Hubungan antara agama dan Negara dalam Islam
telah diberikan teladannya oleh Nabi saw setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Seperti dikatakan oleh Robert Bellah,[7]
seorang sosiologi agama terkemuka adalah model bagi hubungan antara agama dan
Negara dalam Islam. Muhammad Arkoun menyebut usaha Nabi saw tersebut sebagai
“Eksperimen Madinah”[8]
yang menurut Arkoun bahwa eksperimen tersebut telah menyajikan kepada umat
manusia contoh tatanan sosial politik yang mengenal pendelegasian wewenang
(artinya, wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti
pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan
kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada
keinginan dan keputusan lisan pribadi, namun pada suatu dokumen tertulis yang
prinsip-prinsipnya disepakati bersama).
Dokumen tertulis tersebut yakni Piagam
madinah, telah terdokumentasikan dengan baik melalui upaya sungguh-sungguh dari
para ahli sejarah Islam seperti Ibn Ishaq (w. 152 H) dan Muhammad Ibn Hisyam
(w. 218 H). Banyak diantara pemimpin dan pakar ilmu politik dan ketatanegaraan
Islam menganggap bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang
dasar bagi Negara Islam yang pertama dan didirikan oleh Nabi saw di Madinah.[9]
Penilaian ini tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan sebagai
argumen bahwa ketika itu telah terwujud sebuah Negara, baik itu wilayah,
masyarakat maupun penguasa. Demikian juga penilaian terhadap Nabi yang ketika
itu telah bertindak tidak hanya sebagai Nabi tetapi juga sebagai kepala Negara,
misalnya memutuskan hukum, mengirim dan menerima utusan dan juga memimpin
peperangan.[10]
Menurut Munawir Sjadzali setidaknya terdapat
beberapa dasar-dasar prinsipil yang diletakkan oleh Rasulullah saw dalam Piagam
madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di
Madinah yakni: (1) semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku namun
merupakan satu komunitas. (2) hubungan antara anggota komunitas didasarkan atas
bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh, membela mereka yang
teraniaya, saling menasehati dan saling menghormati kebebasan beragama.
Selanjutnya Abdul Karim menyatakan bahwa
terdapat beberapa hal yang prinsipil dan pokok seperti termuat dalam Piagam
Madinah yakni, bahwa Negara dan pemerintahan Madinah bercorak teokrasi yang
dikepalai oleh Seorang Rasul dan sekaligus juga pemimpin agama. Meski Nabi saw
adalah kepala pemerintahan namun kedaulatan ada ditangan Allah, hal ini seperti
tercermin dalam Q.S. Al Hajj ayat 64 dan 65. Pada saat yang sama, dimana
Rasulullah saw tidak dapat mengabaikan kedaulatan rakyat, Nabi saw juga
menerima keputusan majelis syura jikalau keadaan sedang darurat, dengan demikian
corak pemerintahan ini disamping teokrasi juga republik.
Disamping itu, untuk mengendalikan
pemerintahan Nabi di Madinah dibentuk pula sekretariat Negara yang terbagi
dalam 9 propinsi dan dikepalai oleh seorang gubernur (wali). Dan 21
lainnya bertugas sebagai amil dengan tugas utama sebagai pemungut pajak
(tax collector). Sumber pendapatan Negara diperoleh melalui ghanimah,
zakat, jizyah, kharaj dan fa’i. Sedangkan menurut As Sayyid Muhammad Ma’ruf
al-Dawalibi dari universitas Islam Internasional Paris bahwa yang
paling menakjubkan dari semuanya menyangkut Konstitusi Madinah adalah bahwa
dokumen tersebut memuat, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah
prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah ketatanegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan
yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia.
Dengan demikian, sebenarnya ide pokok Piagam
Madinah dalam Negara Madinah yakni adanya suatu tatanan sosial politik yang
diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama, tidak
oleh prinsip-prinsip ad-hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan
kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam
dokumen kesepakatan dasar semua anggota masyarakat, yakni sebuah konstitusi.
(2).
Nabi saw dan Musyawarah
Salah satu hal yang layak dikaji dalam
mekanisme ini yakni bahwa bagaimana mekanisme diambil menyangkut kepentingan
bersama pada masa Nabi saw dan seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam
managemen ketatanegaraan, dan tentang siapa yang memiliki kata akhir. Sesuai
dengan petunjuk Al Qur’an, Nabi saw mengembangkan budaya musyawarah
dikalangan para sahabat. Nabi saw sendiri meski seorang Rasul, amat gemar
berkonsultasi dengan para sahabat menyangkut soal-soal kemasyarakatan. Namun
demikian dalam bermusyawarah, Nabi saw tidak hanya mengikuti satu pola saja,
kerap kali Nabi saw bermusyawarah hanya dengan sahabat senior, tidak jarang
Nabi saw meminta saran dari orang yang ahli atau profesional. Terkadang Nabi
melemparkan masalah-masalah kepada pertemuan yang lebih besar khususnya yang
memiliki dampak yang luas bagi masyarakat.
Selain itu, Nabi saw juga tidak selalu
mengikuti nasihat para sahabat. Dalam hal Nabi saw bersikap demikian, tidak
selalu karena Nabi saw mendapat petujuk dari Allah melalui wahyu. Dalam
beberapa peristiwa, Nabi saw mengambil keputusan yang bertentangan dengan
pendapat para sahabat, dan kemudian turun wahyu yang membenarkan pendapat yang
tidak diterima oleh Nabi itu. Beberapa contoh tersebut diantaranya, posisi pada
pertempuran Badar, perjanjian Hudaibiyah, masalah tawanan Badar, perlakuan
terhadap jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul
b)
Periode
Al-Khulafa Al-Rasyidun (632 – 661 M)
Setelah wafatnya Nabi saw status sebagai
Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun (khatami al-anbiya’ wa
al-mursalin), tetapi kedudukan Nabi SAW yang kedua, yakni sebagai pimpinan
kaum Muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan “Khalifah”
artinya yang menggantikan Nabi menjadi kepala kaum Muslimin (pimpinan komunitas
Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan
hukum-hukum Agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu berdiri di
atas kebenaran. Kebanyakan akademis menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara
langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah
kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah siapa yang akan
menggantikan Nabi SAW, dan sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya?
Maka setelah Nabi SAW wafat, pemuka-pemuka
Islam segera bermusyawarah untuk mencari pengganti Rasulullah. Setelah terjadi
perdebatan sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin, akhirnya terpilihlah
Abu Bakar sebagai Khalifah, artinya pengganti Rasul saw yang kemudian disingkat
menjadi Khalifah atau Amirul Mu’minin.[11]
Khalifah sendiri adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi saw (570–632).
Kata "Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai
"pengganti" atau "perwakilan" Pada awal keberadaannya, para
pemimpin Islam ini disebut sebagai "Khalifat Allah", yang berarti
perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti
menjadi "Khalifat Rasul Allah" (yang berarti "pengganti Nabi Allah")
yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan "Khalifat
Allah". Meskipun begitu, beberapa akademis memilih untuk menyebut
"Khalīfah" sebagai pemimpin umat Islam. Khalifah juga
sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn atau "pemimpin orang yang
beriman", atau "pemimpin umat Muslim", yang terkadang disingkat
menjadi "emir" atau "amir".
Setelah kepemimpinan al-Khulafa ar-Rasyidun
(Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib),
kekhalifahan yang dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Bani
Usmaniyah, dan beberapa khalifah kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya
sampai ke Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir. Khalifah
berperan sebagai kepala umat baik urusan negara maupun urusan agama, mekanisme
pengangkatan dilakukan baik dengan penunjukkan ataupun majelis Syura'
yang merupakan majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi yakni ahli Ilmu (khususnya
keagamaan) dan mengerti permasalahan umat. Sedangkan Khilafah adalah nama
sebuah sistem pemerintahan yang begitu khas, dengan menggunakan Islam sebagai
Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran dan Hadist.[12]
Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An
Nabhani (1907-1977) mendefinisikan
Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia
untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke
seluruh penjuru dunia. Dari definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah
hanya satu untuk seluruh dunia.
Karena Nabi saw tidak secara langsung
menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah
kematiannya, maka pada periode al-Khulafa ar-Rasyidun
ini sistem ketatanegaraan dalam pemerintahan Islam berubah-ubah. Dalam masa al-Khulafa ar-Rasyidun
ini kebijakan masing-masing mereka sangat bervariasi, terutama sekali dalam
masalah suksesi. Misalnya Abu bakar menjadi khalifah yang pertama melalui
pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi
wafat. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak
melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah terbuka, namun melalui
penunjukan dan wasiat pendahulunya, Abu Bakar. Kendati Abu Bakar pernah
mendiskusikan dengan sahabat-sahabat lain sebelumnya secara tertutup. Usman bin
Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok
orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar sebelum ia wafat. Sementara
Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah yang keempat melalui pemilihan
yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa pada masa khulafaurrasyidun ini khilafah dipilih berdasarkan dua
cara pemilihan yakni secara musyawarah oleh beberapa sahabat Nabi (dewan
formatur) dan berdasarkan atas penunjukan khilafah sebelumnya.
1)
Sistem
Politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah (pengganti Nabi)
sebagaimana dijelaskan pada peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah, merupakan bukti
bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil
dari musyawarah mufakat umat Islam. Dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi
Khalifah, maka mulailah ia menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin
umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan. Adapun sistem politik Islam pada
masa Abu Bakar bersifat “sentral”, jadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun demikian dalam memutuskan suatu
masalah, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah.[13]
Sedangkan kebijaksanaan politik yang diilakukan Abu
Bakar dalam mengemban kekhalifahannya yaitu: (1) mengirim pasukan dibawah
pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari
rencana Rasulullah, ketika ia masih hidup.(2) timbulnya kemunafikan dan
kemurtadan. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa setelah Nabi wafat, maka
segala perjanjian dengan Nabi menjadi terputus. Adapun orang murtad pada waktu
itu ada dua yaitu: (a) Mereka yang mengaku nabi dan pengikutnya, termasuk di
dalamnya orang yang meninggalkan sholat, zakat dan kembali melakukan kebiasaan
jahiliyah. (b) Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui
kewajiban zakat dan mengeluarkannya. Dalam menghadapi kemunafikan dan
kemurtadan ini, Abu Bakar tetap pada prinsipnya yaitu memerangi mereka sampai tuntas.(3)
mengembangkan wilayah Islam keluar Arab. Ini ditujukan ke Syiria dan Persia.
Adapun kebijakan di bidang pemerintahan yang dilakukan
oleh Abu Bakar adalah: (1) pemerintahan berdasarkan musyawarah. Apabila terjadi suatu perkara, Abu Bakar selalu mencari hukumnya
dalam kitab Allah. Jika tidak memperolehnya maka ia mempelajari bagaimana Rasul
bertindak dalam suatu perkara. Dan jika tidak ditemukannya apa yang dicari, ia
pun mengumpulkan tokoh-tokoh yang terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah.
Apapun yang diputuskan mereka setelah pembahasan, diskusi, dan penelitian, maka
Abu Bakar menjadikannya sebagai suatu keputusan dan suatu peraturan. (2) amanat
baitul mal. Para sahabat Nabi beranggapan
bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum Muslimin.
Karena itu mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan
pengeluaran sesuatu darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan
oleh syari’at. Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul
Mal untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. (3) konsep pemerintahan politik
dalam pemerintahan Abu Bakar telah ia jelaskan sendiri kepada rakyat banyak
dalam sebuah pidatonya (4) kekuasaan undang-undang.
Abu Bakar tidak pernah menempatkan dirinya di atas undang-undang. Ia juga tidak
pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari
undang-undang. Dan mereka dihadapan undang-undang adalah sama seperti rakyat
yang lain, baik kaum Muslim maupun non Muslim.[14]
2)
Sistem
Politik Islam Masa Umar bin Khattab
Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, ia telah menunjuk Umar
ibn Khattab sebagai pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari
tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman,
dan Tolhah bin Ubaidillah.[15]
Masa pemerintahan Umar berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13
H/634 M sampai tahun 23H/644 M. Umar wafat pada usia 64 tahun. Selama masa
pemerintahan dimanfaatkan oleh Umar untuk menyebarkan ajaran Islam dan
memperluas kekuasaan ke seluruh semenanjung Arab.
Dalam masa pemerintahannya, Umar telah membentuk
lembaga-lembaga yang disebut juga dengan ahlul hall wal aqdi, Secara
etimologi, ahlul hall wal aqdi adalah lembaga penengah dan pemberi
fatwa. Sedangkan menurut terminologi, adalah wakil-wakil rakyat yang duduk
sebagai anggota majelis syura, yang terdiri dari alim ulama dan para
cendekiawan yang menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih atas mereka.
Dinamakan ahlul hall wal aqdi untuk menekankan wewenang mereka guna
menghapuskan dan membatalkan. Anggota dewan ini terpilih karena dua hal yaitu:
(1) mereka yang telah mengabdi dalam Dunia politik, militer, dan misi Islam,
selama 8 sampai dengan 10 tahun. (2) orang-orang yang terkemuka dalam hal
keluasan wawasan dan dalamnya pengetahuan tentang yurisprudensi dan Al Qur’an.
Lembaga-lembaga yang disebut dengan ahlul hall wal
aqdi di antaranya adalah: (1) Majelis Syura (Dewan Penasihat), ada tiga bentuk: (a) Dewan Penasihat Tinggi, yang
terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal, antara lain Ali, Utsman,
Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah
dan Zubair. (b) Dewan Penasihat Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan
Muhajirin) dan pemuka berbagai suku, bertugas membahas masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan umum. (c) Dewan antara Penasehat Tinggi dan Umum.
Beranggotakan para sahabat (Anshar dan Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas
masalah-masalah khusus. (2) Al-Katib (Sekretaris Negara), di antaranya
adalah Abdullah bin Arqam. (3) Nidzamul Maly (Departemen Keuangan)
mengatur masalah keuangan dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah,
fai’ dan lain-lain. (4) Nidzamul Idary (Departemen
Administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat, di
antaranya adalah diwanul jund yang bertugas menggaji asukan perang dan
pegawai pemerintahan. (5) Departemen Kepolisian dan Penjaga yang
bertugas memelihara keamanan dalam negara. (6) Departemen Pendidikan dan
lain-lain.
Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin
pemerintahan pusat tetap dipegang oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di
Propinsi, ditunjuk Gubernur (orang Islam) sebagai pembantu Khalifah untuk
menjalankan roda pemerintahan. Di antaranya adalah: (1) Muawiyah bin Abu
Sufyan, Gubernur Syiria, dengan ibukota Damaskus. (2) Nafi’ bin Abu Harits,
Gubernur Hijaz, dengan ibu kota Mekkah. (3) Abu Musa Al Asy’ary, Gubernur Iran,
dengan ibu kota Basrah. (4) Mughirah bin Su’bah, Gubernur Irak, dengan ibu kota
Kufah. (5) Amr bin Ash, Gubernur Mesir, dengan ibu kota Fustat. (6) Alqamah bin
Majaz, Gubernur Palestina, dengan ibu kota Jerussalem. (7) Umair bin Said,
Gubernur jazirah Mesopotamia, dengan ibu kota Hims. (8) Khalid bin Walid,
Gubernur di Syiria Utara dan Asia Kecil. (9) Khalifah sebagai penguasa pusat di
Madinah.
Umar meninggal pada tahun 644 M karena ditikam oleh
Fairuz (Abu Lukluk), budak Mughirah bin Abu Sufyan dari perang Nahrrawain yang
sebelumnya adalah bangsawan Persia. Mughirah dipecat oleh Umar karena ia
melakukan pembocoran rahasia Negara dan penghianatan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa alasan pembunuhan politik pertama kali dalam
sejarah Islam adalah adanya rasa syu’ubiyah (fanatisme) yang berlebihan
pada bangsa Persia dalam dirinya. Sebelum meninggal, Umar mengangkat Dewan
Presidium untuk memilih Khalifah pengganti dari salah satu anggotanya. Mereka
adalah Usman, Ali, Tholhah, Zubair, Saad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin
Auf. Sedangkan anaknya (Abdullah bin Umar), ikut dalam dewan tersebut, tapi
tidak dapat dipilih, hanya memberi pendapat saja. Akhirnya, Usmanlah yang
terpilih setelah terjadi perdebatan yang sengit antar anggotanya. Alasan
pembentukan tim tersebut menurut Umar adalah karena ia tidak sebaik Abu Bakar
yang dapat menunjuk seseorang sebagai penggantinya, akan tetapi Umar juga tidak
bisa sebaik Rasulullah untuk membiarkan para sahabatnya memilih pengganti, maka
diambil jalan tengah yakni dengan membentuk tim formatur untuk bermusyawarah
menentukan pengganti Umar.
3)
Sistem
Politik Islam Masa Usman bin Affan
PADA masa Khalifah Usman, konsep kekhalifaan sudah mulai
mundur, dalam arti interes politik disekitar khalifah mulai banyak diwarnai
oleh dinamika kepentingan suku dan perbedaan interpretasi konsep kepemimpinan
dalam Islam. Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa awal
pemerintahannya, ia berhasil memerintah dengan baik sehingga Islam mengalami
kemajuan dan kemakmuran dengan pesat. Namun pada paruh terakhir masa
kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa umat Islam terhadapnya
Oleh karena itu, orang-orang menuduh Khalifah Usman melakukan nepotisme, dengan
mengatakan bahwa beliau menguntungkan sanak saudaranya Bani Umayyah, dengan
jabatan tinggi dan kekayaannya. Mereka juga menuduh pejabat-pejabat Umayyah
suka menindas dan menyalahkan harta baitul maal. Disamping itu Usman
juga dituduh sebagai orang yang boros mengeluarkan belanja, dan kebanyakan
diberikan kepada kaum kerabatnya sehingga hampir semuanya menjadi orang kaya.
Pengangkatan pejabat di kalangan keluarga oleh Khalifah
Ustman telah menimbulkan protes keras di daerah dan menganggap Ustman telah
melakukan nepotisme. Menurut Muhammad Ali (dalam M Abdul Karim, 2007:98),
protes orang dengan tuduhan nepotisme tidaklah beralasan karena pribadi Ustman
itu bersih. Pengangkatan kerabat oleh Ustman bukan tanpa pertimbangan. Hal ini
ditunjukkan misalnya oleh jasa yang dibuat oleh Abdullah bin Sa‘ad dalam
melawan pasukan Romawi di Afrika Utara dan juga keberhasilannya dalam
mendirikan angkatan laut. Ini menunjukkan Abdullah bin Sa’ad adalah orang yang
cerdas dan cakap, sehingga pantas menggantikan Amr ibn ‘Ash yang sudah lanjut usia.
Hal lain ditunjukkan ketika diketahui Walid bin Uqbah melakukan pelanggaran
berupa mabuk-mabukkan, ia dihukum cambuk dan diganti oleh Sarad bin Ash. Hal
tersebut tidak akan dilakukan oleh Ustman, jika ia hanya menginginkan
kerabatnya duduk di pemerintahan. Akhirnya, terdapat beberapa alasan yang dapat
dikemukakan bahwa Usman tidak nepotisme dalam menjalankan roda pemerintahan
namun lebih karena pengangkatan saudara-saudaranya itu berangkat dari
profesionalisme kinerja mereka dilapangan.
4)
Sistem
Politik Islam Masa Usman bin Affan
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin
keempat yang dikenal sebagai orang yang alim, cerdas dan taat beragama. Ali
juga saudara sepupu Nabi saw (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang jadi menantu
Nabi, suami dari putri Rasulullah serta mempunyai keturunan. Dalam pemilihan
Khalifah terdapat perbedaan pendapat antara pemilihan Abu bakar, Utsman dan
Ali. Ketika kedua pemilihan Khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Umar),
meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi setelah calon
terpilih dan diputuskan menjadi Khalifah, semua orang menerimanya dan ikut
berbaiat serta menyatakan kesetiaannya. Namun lain halnya ketika pemilihannya
Ali, justru sebaliknya.
Setelah terbunuhnya Usman bin Affan, masyarakat beramai-ramai
datang dan membaiat Ali sebagai Khalifah. Ali diangkat melalui
pemilihan dalam pertemuan terbuka. Akan tetapi suasana pada saat itu sedang
kacau, karena hanya ada beberapa tokoh senior masyarakat Islam yang tinggal di
Madinah. Sehingga keabsahan pengangkatan Ali ditolak oleh sebagian masyarakat
termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali masih menjadi
Khalifah dalam pemerintahan Islam. Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali di
karenakan beberapa hal yaitu bahwa orang yang tidak menyukai Ali diangkat
menjadi Khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak. Akan tetapi golongan
kecil (keluarga Umayah) yaitu keluarga yang selama ini telah hidup bergelimang
harta selama pemerintahan Khalifah Usman. Mereka menentang Ali karena khawatir
kekayaan dan kesenangan mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan
dijalankan oleh Ali. Adapun rakyat terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan
Ali dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Ali akan dijadikan tempat
berlindung melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami.
Menurut Abdul Karim setelah Ali dibaiat
menjadi Khalifah, ia mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang sangat radikal
yaitu: (1) Memecat kepala daerah angkatan Usman dan menggantikan dengan
gubernur baru. (2) Mengambil kembali tanah yang dibagi–bagikan Ustman kepada
famili–familinya dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah.
Ketika Ali menjadi Khalifah ada dua kelompok oposisi
yang menentang kekhalifahan Ali, yaitu kelompok oposisi yang dipimpin oleh
Abdullah Ibnu Zubair (anak angkat Siti Aisyah) dan kelompok oposisi yang
dipimpin oleh gubernur Syria, yaitu Muawiyah Ibnu Sufyan. Kelompok oposisi
pimpinan Abdullah Ibnu Zubair melahirkan perang yang popular dengan sebutan perang
Jamal, karena dalam perang tersebut terlibat Siti Aisyah dengan mengendarai
unta yang berdiri dipihak oposisi. Mengapa Aisyah dalam perang tersebut berada
dipihak oposisi. Hal tersebut semata–mata karena kuatnya exploitasi Abdullah
Ibnu Zubair atas ambisinya untuk menjadi Khalifah setelah Ali terguling. Yang
secara kebetulan Aisyah pada saat itu sedang menaruh kecurigaan pada kelompok
Ali tentang siapa yang membunuh Khalifah Usman. Kondisi yang demikian inilah
dimanfaatkan oleh Abdullah bin Zubair.
Kelompok oposisi pimpinan Mu’awiyah, gubernur Syria,
melahirkan peperangan yang terkenal dengan sebutan perang Shiffin. Perang
tersebut diakhiri dengan genjatan senjata, mengangkat Mushaf Al Qur’an.
Peperangan ini terjadi tidak disebabkan oleh interest politik pribadi
Mu’awiyah, tetapi juga disebabkan oleh konflik etnis yang bersifat laten zaman
sebelum Islam, yaitu antara Bani Ummayyah dan Bani Hasyim. Sebenarnya Ali telah
berusaha menghindari terjadinya peperangan. Akan tetapi pendukung Ali sendiri
tanpa instruksi, memulai sehingga pecahlah perang yang sangat merugikan
integrasi Islam itu. Kekalahan Ali dalam diplomasi perang tersebut,
menyebabkan Dunia Islam diperintah berdasarkan sistem monarchi, yaitu
suksesi kepemimpinan yang berdasarkan turun-temurun. Disamping itu, kekalahan
Ali dalam perangan tersebut, menyebabkan lahirnya golongan Syi’ah, dengan
doktrin, bahwa hanya Ali dan keturunannya yang berhak menjadi Khalifah
Dengan berpulangnya Ali bin Abi Thalib ke rahmatullah
kedudukannya sebagai Khalifah digantikan dan dijabat oleh anaknya Hasan Ibnu
Ali bin Abi Thalib selama beberapa bulan. Namun karena Hasan ternyata lemah
sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat, maka Hasan bin Ali membuat
perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam
satu kepemimpinan politik dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada tahun 41 H (661 M) merupakan tahun
persatuan, yang dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘Am al
Jama’ah). Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa al-Khulafa ar-Rasyidun
dan dimulailah kekuasaan Bani Umaiyyah dalam sejarah politik Islam[16]
c)
Periode
Dinasti Umayah (661 – 750 M)
Periode negara Madinah berakhir dengan
wafatnya Ali bin Abi Thalib. Wafatnya Ali dianggap berakhirnya satu era yakni
era al-Khulafa
ar-Rasyidun. Sejalan dengan itu, berakhir pula suatu tradisi pengisian
jabatan kepala negara melalui musyawarah. Tokoh
yang naik ke panggung politik selanjutnya adalah Muawwiyyah ibn Sofyan.
kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41
H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah
bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai
Gubernur Syam pada zaman Khalifah Usman cukup mengantarkan dirinya mampu
mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya
Setelah Husein putra Ali ibn Abi Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam
pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Umayyah mencapai
puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun.
Walaupun Muawiyah mengubah sistem
pemerintahan dari musyawarah menjadi monarki, namun dinasti ini tetap memakai
gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan
jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa”
yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an
(2:30). Atas dasar ini dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah
berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Umayyah bercorak teokratis,
yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama
menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa
khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan
khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, meskipun
pemimpin dinasti ini menyatakan sebagai khalifah akan tetapi dalam prakteknya
memimpin umat Islam sama sekali berbeda dengan khalifah yang empat sebelumnya,
setelah Rasulullah Jabatan raja menjadi
turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi
Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi). Muawiyah tidak mentaati isi
perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta,
yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan
diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan
seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat
itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai
Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad,
tepatnya selama 90 tahun, dengan empat belas khalifah. Banyak kemajuan, perkembangan
dan perluasan daerah yang dicapai, lebih-lebih pada masa pemerintahan Walid bin
Abdul Malik. Perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah
terjadi pada sistem politik, diantaranya adalah: (a) Politik dalam Negeri yakni
pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan
ini berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh
dari Kufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat
tinggal Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang
lebih tajam antar dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari
itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada
di bawah genggaman Muawiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi Gubernur
di distrik ini sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab.
Kedua, pembentukan lembaga yang sama sekali
baru atau pengembangan dari Khalifah ar rasyidin, untuk memenuhi
tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah kenegaraan yang semakin komplek.
Dalam menjalankan pemerintahannya Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al
Kuttab (sekretaris) yang meliputi (a) Katib ar Rasaail yaitu
sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat
dengan pembesar-pembesar setempat. (b) Katib al Kharraj yaitu sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara. (c) Katib
al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang
berkaitan dengan ketentaraan. (d) Katib asy Syurthahk yaitu sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum. (e) Katib
al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum
melalui bedan-badan peradilan dan hakim setempat.
Pada masa bani Umayyah banyak kemajuan yang
telah dicapai. Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali
dilanjutkan oleh dinasti ini. Sehingga kekuasaan Islam betul-betul sangat luas.
Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah
Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang
disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah. Di samping melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Bani Umayyah
juga berjasa dalam bidang pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan, misalnya
mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, memperbaharui sistem perpajakan, mencetak
mata uang mendirikan
masjid qubbah al-shaqra (Dome Of The Rock). Ilmu naqli, yaitu filsafat dan ilmu eksakta mulai dirintis.
Ilmu tafsir al-Qur’an berkembang dengan pesat, karena orang Muslim membutuhkan
hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Apabila menemui
kesulitan dalam melakukan penafsiran, mereka mencarinya dalam al-Hadist Karena
banyaknya hadist palsu, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist,
yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya.
2.
Keruntuhan
Khilafah
Keruntuhan kekhalifahanan terakhir,
Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya persetuan diantara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah
kemunduran ekonomi Turki. Setelah menguasai Istambul pasca-Perang Dunia I,
Inggris menciptakan sebuah
kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup
kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya
tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai
menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum
nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan
Nasional -dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya- sehingga ada dua pemerintahan
saat itu; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan
Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa
Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya
mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah
perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak.
Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan
melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya
krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal
Pasha sebagai ketua parlemen,
yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan
kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang
presiden yang dipilih lewat
Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai
presiden pertama Turki. Namun
ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti
korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad,
dan beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II
terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah
Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan
pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat
bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah kontroversial untuk
mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya, Khalifah digambarkan sebagai
sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa
Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut
dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan
"Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah
sekaligus membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari
negara. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan
Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas
dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [1]. Mereka bertugas untuk:
"memberikan pelayanan religius kepada orang Turki dan Muslim di dalam dan
di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara, Turki. Diyaniah adalah
sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan dengan
hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan
yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi
Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan
Diyainah adalah Dinaiyah, tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah
negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan
prinsip sekularisme Turki yang
memisahkan urusan Agama dengan urusan negara. Sempat muncul keinginan dan
gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman,
tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein
bin Ali, seorang gubernur Hejaz
pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya pada masa Perang Dunia I serta
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya
sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut
ditolak, dan tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman
terakhir Mehmed VI juga
melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah di
Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian
kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim yang berpartisipasi
dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.
B. Faktor
Kendala Khilafah Sistem Pemerintahan Islam.
Kebesaran yang telah diraih oleh dinasti
Umayyah ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, yang diakibatkan oleh
beberapa faktor antara lain: (1) kekuasaan wilayah yang sangat luas dalam waktu
yang singkat tidak berbanding lurus dengan komunikasi yang baik dan sulitnya
mendeteksi gerak-gerik lawan politik Dinasti Umayah (2) lemahnya
para khalifah dan tidak cakap dalam memimpin wilayah yang begitu luas. Rentan
munculnya konflik antar golongan. Faktor berikutnya (3) yakni
ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka adalah pendatang baru
dari kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali.
Status tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan
orang-orang Arab yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal
mereka bersama-sama Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan
beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata
bangsa Arab. Tetapi harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak
bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali
itu jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada
orang Arab Disamping itu Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani
Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum Syi’ah dan
Khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu
dapat mengancam keutuhan kekuasaan Umayyah.
BAB
III
PENUTUP
v
KESIMPULAN
Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang
dibaiat buat menerapkan syariat
Allah SWT atas mereka.
Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum Islam dalam semua
tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat. sistem
pemerintahan dikalankan atas dasar AL Qur’an, Hadist dan Ijma’.
Jika khalifah menganggap penguasa bukan sebagai abdi rakyat, dan
tidak tunduk akan perintah hokum Islam, yang sering melakukan penindasan
terhadap rakyat nya, Maka tunggulah akan masa kehancuran kepemimpinan nya.
DAFTAR PUSTAKA
Syabab Hizbut
Tahrir Ingrid., Bagaimana Membangun
Kembali Negara Khilafah.,Pustaka Thariqul Izzah., Bogor.
http://politikana.com.
salah -kaprah- istilah -dan- pemerintahan- islam.html. 9/08/2010. 09.55
wib.
http://hermaninbismillah.blogspot.com/2010/01/
corak kekhalifahan dalam islam. html, 19/ 08/ 2010., 10.35 wib.
Nurchilish
Madjid, Islam Universal., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta,
UI Press, 1993).
M. Hasbi Amiruddin, Konsep
Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta, UII Press, 2000)
Lihat misalnya Muhammad
Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khattab (Jakarta: Khalifa, 2003).
Abul A’la al Maududi, Khilafah
dan Kerajaan Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam terj. Muhammad
al Baqir (Bandung, Mizan, 1996).
Abul A’la al
Maududi, Khilafah dan Kerajaan
Badri Yatim. Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 41. Lihat
juga M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam
[1] Syabab Hizbut Tahrir Ingrid., Bagaimana
Membangun Kembali Negara Khilafah.,Pustaka Thariqul Izzah., Bogor. , Hlm 35.
[3] Ibid hlm 4
[4] http://hermaninbismillah.blogspot.com/2010/01/
corak kekhalifahan dalam islam. html, 19/ 08/ 2010., 10.35 wib.
[5] Ibid Hlm 2.
[6] Nurchilish Madjid, Islam Universal., Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007., hlm. 202-203
[7] Ibid.
[8] Ibid Hlm 204.
[9] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran (Jakarta, UI Press, 1993), hal. 10
[10] M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman
(Yogyakarta , UII Press, 2000) hal. 3
[11] Lihat misalnya Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin Al
Khattab (Jakarta: Khalifa, 2003), hlm. 444-445
[12] Abul A’la al Maududi, Khilafah dan Kerajaan Evaluasi Kritis Atas
Sejarah Pemerintahan Islam terj. Muhammad al Baqir (Bandung, Mizan, 1996),
Hal. 112-116
[13] Ibid hlm 83.
[14] Abul A’la al Maududi, Khilafah dan Kerajaan…..hal. 124
[15] Ibid
[16] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1998), hal. 41. Lihat juga M. Hasbi Amiruddin, Konsep
Negara Islam ……hal. 73.
Komentar
Posting Komentar