Ilmu Perundang-Undangan Dan Judicial Review
Oleh: Muhammad Syahrum
PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA
I. Perbedaan Common Law, Civil Law, Dan Islamic Law
Sistem Hukum
Secara garis besar di dunia ini meskipun dikenal ada
lima sistem hukum, yaitu; Civil law, common law, socialis law, islamic law dan
sistem hukum adat, tetapi sesungguhnya yang dominan dipakai di dunia
internasional hanyalah dua, yaitu sistem hukum civil law dan common law. Dalam
pembentukan kontrak, terdapat perbedaan antara common law dan civil law. Akibat
perbedaan ini sangat mempengaruhi dalam penyusunan ketentuan kontrak
internasional. Sehubungan dengan perbedaan dalam sistem hukum tersebut, maka
kemudian dalam rangka merancang suatu kontrak atau pembuatan suatu konsep
perjanjian pun dengan sendirinya mengacu pada sistem hukum yang dianut. Namun
zaman terus bergerak, dan tiba saatnya era globalisasi yang juga mau tidak mau
mempengaruhi sistem hukum yang diterapkan, apabila terjadi perjumpaan antara
sistem hukum yang berlainan.
1. Common Law
Dalam pembuatan kontrak di sistem common law, para pihak
memiliki kebebasan untuk menyepakati persyaratan yang diinginkan, sepanjang
persyaratan tersebut tidak melanggar kebijakan publik ataupun melakukan
tindakan yang melanggar hukum. Jika ada persyaratan tertentu yang tidak tercakup,
hak dan kewajiban yang wajar akan diterapkan diambil dari ketetapan hukum yang
ada atau praktek bisnis yang biasa dijalankan oleh para pihak atau industri.
Biasanya kerugian di ukur dengan “lost benefit of the bargainâ
(manfaat/keuntungan yang harus di dapat yang hilang).
Peraturan ini memberi kesempatan kepada satu pihak untuk
menggugat kerugian sejumlah manfaat yang bisa dibuktikan yang akan diperoleh
pihak tersebut jika pihak lain tidak melanggar kontrak. Di kebanyakan
jurisdiksi, salah satu pihak diminta untuk membayar ganti rugi akibat
pelanggaran, yang dikenal sebagai konsekuensi kerugian.
Kontrak menurut sistem hukum common law, memiliki unsur sebagai
berikut:
A. Bargain
Unsur bargain dalam kontrak common law dapat memiliki
sifat memaksa. Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran mengenai bargain , dalam
hubungannya dengan konsep penawaran (offer)dianggap sebagai ujung tombak dari
sebuah perjanjian dan merupakan sumber dari hak yang timbul dari suatu kontrak.
Penawaran dalam konteks ini tidak lebih adalah sebuah transaksi di mana para
pihak setuju untuk melakukan pertukaran barang-barang, tindakan-tindakan, atau
janji-janji antara satu pihak dengan pihak yang lain. Karena itu, maka ukuran
dari pengadilan terhadap perjanjian tersebut dilakukan berdasarkan penyatuan
pemikiran dari para pihak, ditambah dengan sumber dari kewajiban mereka, dan
kemudian memandang ke arah manifestasi eksternal dari pelaksanaan perjanjian
tersebut. Pengertian penawaran merupakan suatu kunci yang digunakan untuk lebih
mengerti tentang penerapan aturan-aturan common law mengenai kontrak.
B. Agreement
Suatu proses transaksi yang biasa disebut dengan istilah
offer and acceptance, yang ketika diterima oleh pihak lainnya akan memberikan
akibat hukum dalam kontrak. Dalam perjanjian sering ditemukan, di mana satu
pihak tidak dapat menyusun fakta-fakta ke dalam suatu offer yang dibuat oleh
pihak lainnya yang telah diterima sebagai acceptance oleh pihak tersebut.
Karena penawaran dan penerimaan adalah hal yang fundamental, maka dalam sistem
common law, sangat diragukan apakah suatu pertukaran offer (cross-offer) itu
dapat dianggap sebagai kontrak. Berdasarkan sistem common law, pada saat suatu
kontrak dibuat, saat itulah hak dan kewajiban para pihak muncul, hal yang
demikian itu diatur dalam statute. Karena bisa saja terjadi suatu kontrak yang
dibuat berdasarkan keinginan dari para pihak dan pada saat yang sama juga
kontrak tersebut tidak ada. Hal ini disebabkan karena aturan mengenai
acceptance dan revocation ini memiliki akibat-akibat yang berbeda pada setiap
pihak.
C. Consideration
Dasar hukum yang terdapat dalam suatu kontrak adalah
adanya unsur penawaran yang kalau sudah diterima, menjadi bersifat memaksa,
bukan karena adanya janji-janji yang dibuat oleh para pihak. Aturan dalam sistem
common law tidak akan memaksakan berlakunya suatu janji demi kepentingan salah
satu pihak kecuali ia telah memberikan sesuatu yang mempunyai nilai hukum
sebagai imbalan untuk perbuatan janji tersebut. Hukum tidak membuat persyaratan
dalam hal adanya suatu kesamaan nilai yang adil. Prasyarat atas kemampuan
memaksa ini dikenal dengan istilah consideration. Consideration adalah isyarat,
tanda dan merupakan simbol dari suatu penawaran. Tidak ada definisi dan
penjelasan yang memuaskan dari sistem common law mengenai konsep ini. Hal
demikian ini telah di mengerti atas dasar pengalaman.
D. Capacity
Kemampuan termasuk sebagai syarat tentang, apakah para
pihak yang masuk dalam perjanjian memiliki kekuasaan. Suatu kontrak yang dibuat
tanpa adanya kekuasaan untuk melakukan hal tersebut dianggap tidak berlaku.
Sebagai illustrasi dapat diuraikan putusan pengadilan dalam Quality
Motors, Inc. V. Hays di mana memutuskan bahwa kontrak tidak sah karena
dilakukan oleh individu yang belum dewasa, walaupun transaksi dilakukan oleh
melalui orang lain yang telah dewasa, dan surat jual belinya di sahkan oleh
notaris. Dalam kasus ini terlihat bahwa pengadilan menerapkan secara tegas dan
kaku ketentuan umur untuk seseorang dapat melakukan perbuatan hukum. Walaupun
jual beli akhirnya dilakukan oleh orang dewasa, namun fakta menunjukkan
ternyata hal tersebut dilakukan dengan sengaja untuk melanggar ketentuan
kontrak, akhirnya pengadilan membatalkan ketentuan kontrak tersebut.
Civil law
Kebanyakan negara yang tidak menerapkan common law
memiliki sistem civil law. Civil law ditandai oleh kumpulan perundang-undangan
yang menyeluruh dan sistematis, yang dikenal sebagai hukum yang mengatur hampir
semua aspek kehidupan.
Teori mengatakan bahwa civil law berpusat pada undang-undang dan peraturan.
Undang-Undang menjadi pusat utama dari civil law, atau dianggap sebagai jantung
civil law.
Namun dalam perkembangannya civil law juga telah
menjadikan putusan pengadilan sebagai sumber hukum. Di banyak hukum dalam
sistem civil law tidak tersedia peraturan untuk menghitung kerugian karena
pelanggaran kontrak. Standar mengenai penghitungan kerugian ini masih tetap
belum jelas di banyak negara dengan civil law. Meskipun demikian pengadilan di
negara-negara ini cenderung memutuskan untuk menghukum pihak yang salah tidak
dengan uang, tetapi dengan pelaksanaan tindakan kontrak tertentu.
Keputusan pengadilan ini mengisyaratkan salah satu pihak
untuk menjalankan tindakan tertentu yang dimandatkan oleh pengadilan, seperti
mengembalikan hak milik atau mengembalikan pembayaran. Banyak sistem dari civil
law memiliki mekanisme penegakan dan pamantauan agar penegakan bisa dijalankan
secara efektif. Unsur kontrak dalam civil law sistem terdiri dari empat unsur,
sebagai berikut:
a. Kapasitas Para Pihak
Kebebasan kehendak sangat dipengaruhi oleh kapasitas
atau kemampuan seseorang yang terlibat dalam perjanjian. Kemampuan ini sangat
menentukan untuk melakukan perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Kapasitas yang dimaksudkan dalam civil law antara
lain ditentukan individu menurut umur seseorang. Di Indonesia, Philipina, dan
Jepang yang dianggap telah mempunyai kapasitas untuk melakukan suatu kontrak
harus telah berumur 21 tahun. Civil Code Perancis yang merefleksikan pemikiran
modern, menyatakan bahwa kehendak individu yang bebas adalah sumber dari sistem
hukum, yang meliputi hak dan kewajiban. Namun kebebasan kehendak ini harus
sesuai dengan hukum tertulis, yaitu hukum perdata.
Di Indonesia, Jepang, Iran dan Philipina, di mana
perusahaan sebagai subjek hukum dapat melakukan kontrak melalui pengurus
perusahaan. Di Indonesia pengurus perusahaan terdiri dari anggota direksi dan
komisaris. Dalam melakukan kegiatannya, maka anggota direksi harus memenuhi
ketentuan anggaran dasar perusahaan dan peraturan perundang-undangan, yang
memberikan kepadanya kapasitas dalam melakukan penandatanganan kontrak dan
tindakan hukum lainnya. Hal inilah yang dikatakan dalam civil law merupakan the
code granted them full capacity.
b. Kebebasan Kehendak Dasar Dari Kesepakatan
Kebebasan kehendak yang menjadi dasar suatu kesepakatan,
agar dianggap berlaku efektif harus tidak dipengaruhi oleh paksaan (dures),
kesalahan (mistake), dan penipuan(fraud). Berkenaan dengan kebebasan kehendak,
pengadilan di Perancis menerapkan ketentuan civil Code sangat kaku, yaitu tidak
boleh merugikan pihak lain. Dalam kenyataan sehari-hari, walaupun yang dianggap
mampu melaksanakan kebebasan kehendak ada pada orang yang sudah dewasa, namun
diantara mereka tidak boleh membuat kebebasan kehendak, yang dapat merugikan
pihak lain.
Kesepakatan di antara para pihak menjadi dasar
terjadinya perjanjian. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menetukan bahwa
perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau
sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan petunjuk
bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh œasas konsensualisme. Ketentuan Pasal 1320
ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk
menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya.
c. Subjek yang pasti
Merujuk pada kesepakatan, terdapat dua syarat di hadapan
juristic act, suatu perjanjian dapat diubah menjadi efektif yaitu harus dengan
ada antara lain suatu subyek yang pasti. Sesuatu yang pasti tersebut, dapat
berupa hak-hak, pelayanan (jasa), barang-barang yang ada atau akan masuk
keberadaannya, selama mereka dapat menentukan. Para pihak, jika perjanjian
telah terbentuk tidak mungkin untuk melakukan prestasi, maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan.
d. Suatu sebab yang diijinkan (A Premissible Cause)
Perjanjian tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Suatu
sebab yang halal adalah syarat terakhir untuk berlakunya suatu perjanjian.
Pasal 1320 ayat 4 jo 1337 KUHPerdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas
untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-Undang
atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum.
Perjanjian yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau
bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang adalah
tidak sah.
PERBEDAAN COMMON LAW (Anglo
Saxon) dan CIVIL LAW (Hk. Continental)
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara sistem hukum
Continental (Eropa) dan sistem hukun Anglo-Saxon (AS). Pada sistem hukun
continental, filosofinya tampak pada sifat-sifatnya yang represif, yang
senantiasa cenderung melindungi yang berkuasa. Hal ini bisa dimaklumi karena
yang berkuasa (waktu itu) adalah kolonial Belanda yang jelas ingin
mempertahankan dan mengokohkan kekuasaannya melalui berbagai undang-undang atau
sistem hukumnya. Sedang sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang
represif, namun sifat penekanannya lebih mengutamakan pada sifat-sifat yang
preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-rambu untuk mencegah munculnya KKN
dalam segala bentuk maupun manifestasinya. Selain mencegah terjadinya white
collar crime dan corporate crime juga untuk mencegah terjadinya distorsi,
keharusan memberikan proteksi bagi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan
orang perorang, serta menjamin partisipasi dan pengawasan sosial secara
transparan dan demokratis.
Dengan pengalaman krisis yang multidimensi sekarang ini,
bukankah sudah tiba waktunya untuk memikirkan secara serius, untuk mengalihkan
sistem hukum Continental kita ke hukum Angl-Saxon bagi sistem hukum Indonesia
Baru di masa mendatang. Mudah-mudahan. (Cartono Soejatman). Perbedaan mendasar
Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan
sistem politik yang digunakan.System anglo saxon. Sistem Anglo-Saxon adalah
suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu
keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan
hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris,
Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan
Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum
ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain
negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum
Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan
sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat
dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah
terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan
perkembangan zaman.
Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol
digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara. Anglo-Saxon adalah sebuah wilayah
yang menarik. Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai untuk menyebut
penduduk Britania Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku
Anglia, Saks, dan Yut. Konon, pada tahun 400 M mereka menyeberang dari Jerman
Timur dan Skandinavia Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan
7 kerajaan kecil yang disebut Heptarchi. Mereka dinasranikan antara 596-655
M.Sejarah Anglo-Saxon ini, oleh Theresa Tomlinson, diangkat menjadi latar
cerita dalam novel Gadis Serigala, sebuah fiksi remaja tentang seorang gadis
pemberani bernama Wulfrun. Wulfrun anak seorang penenun, Cwen. Mereka tinggal
di wilayah kekuasaan Biara Whitby yang dikepalai oleh Suster Hild. Setiap hari,
Wulfrun bertugas menggembalakan angsa-angsa mereka bersama sahabatnya, Cadmon,
seorang penggembala sapi. Cwen anak-beranak hidup sangat miskin. Saking
miskinnya, dia terpaksa menjual putra sulungnya, Sebbi, sebagai budak. Pada
masa tersebut, perbudakan masih menjadi sesuatu yang lazim terjadi.
Barangkali akibat perang yang terus berlangsung antara
daerah-daerah yang saling berseteru. Rakyat di sana terbagi menjadi dua: kaum
bebas dan kaum tak bebas. Sejarah Eropa dan Amerika Utara menjadi acuan bagi
studi kasus bangkitnya lapisan menengah, yang lebih dikenal sebagai perjuangan
kelas menengah selama abad ke-18 dan akhir abad ke-19. Dua model yang diajukan
Francois Raillon, yakni model Anglo-Saxon dan model Eropa Kontinental, menarik
untuk disimak. Model Anglo-Saxon, yang menurut Raillon terlalu mengandalkan
pengalaman sejarah kaum borjuis Inggris dan Amerika Serikat, tak selamanya
relevan untuk menjelaskan kemungkinan tumbuhnya demokratisasi politik dan
ekonomi di negara berkembang. Terlalu banyak menekanan diberikan pada model
“masyarakat” berhadapan dengan “negara”.
Raillon mengisahkan bahwa lapisan menengah dapat tumbuh
dan berkembang dalam tubuh kehidupan negara, karena keterkaitan antara pejabat
negara dan mitranya di kalangan swasta. Model ini, katanya, lebih cocok untuk
menggambarkan tumbuhnya lapisan menengah, terutama di negara bekas jajahan
Prancis, termasuk di Indocina. Perdebatan tentang model Anglo-Saxon atau model
Eropa Kontinental sesungguhnya tak bermakna terlalu besar. Bagaimanapun, kedua
model itu dikembangkan atas dasar struktur dan sifat perekonomian dunia yang
jauh berbeda dari perkembangan ekonomi 30 tahun terakhir. Perekonomian dunia 30
tahun terakhir (1966-1996) jauh berbeda dengan perekonomian masa sebelumnya,
tatkala revolusi informasi belum berkembang pesat. Karena lingkungan berbeda
maka berbeda pula lintasan peran lapisan menengah mancanegara. Perbedaan paling
utama ialah lapisan menengah mancanegara kini lebih banyak berpangkal pada
ekonomi informasi atau ekonomi pengetahuan. Berbeda dengan masa pra-1966, gerak
ekonomi di dunia sekarang lebih mengandalkan peran pengolahan (informasi, jasa,
teknologi) daripada perekonomian produksi dan perdagangan. Ini berarti
pendorong perekonomian lebih banyak dilakukan oleh kecepatan dan ketepatan
pengolahan ilmu pengetahuan daripada pemroses produksi barang dan distribusi.
Setiap hari sekitar US$ 1,6 trilyun diolah dalam transaksi valuta asing,
sedangkan perdagangan barang manufaktur (bermakna membuat barang dengan tangan)
“hanya” sekitar US$ 600 milyar. Ini berarti lapisan menengah di mancanegara
sebagian terbesar adalah ahli pengolah otak daripada pengolah otot. Maka
lapisan menengah masa kini bukan lagi kaum pedagang tahun 1940-an atau 1950-an
yang menjadi pemilik tanah, modal, dan tenaga kerja. Lapisan menengah Indonesia
kini makin terdiri atas pekerja otak (insinyur, ahli hukum, akuntan, pialang
pasar modal, dokter spesialis). Kesetiaan mereka adalah pada keahlian
profesinya, bukan terhadap perusahaan tertentu.
Di sisi lain, Friedman tidak menganalisis lebih jauh
bahwa pada dasarnya demokrasi bukan sebuah sistem praktis untuk setiap negara
dengan resep yang sama, yang hal ini terlihat dari tradisi Kontinental dan
Anglo-Saxon. Bahkan kini Nicholas Syarkozi ingin agar Prancis lebih menyerupai
demokrasi Amerika. Maksudnya, pengembangan demokrasi lebih dekat dengan
kecenderungan yang nisbi atau sesuatu yang to come dan tertunda sebagaimana
diungkap filsuf Derrida. Ketidakmampuan melihat tabiat dan kondisi Timur
Tengah-lah yang menyebabkan kegagalan misi Amerika. Pada dasarnya masyarakat
Timur Tengah menolak proyek peradaban yang prestisius menuju demokrasi, dan
kebebasan bukan karena nilai-nilai itu bertentangan, melainkan lebih disebabkan
oleh perbuatan Amerika yang permisif. Pada prinsipnya, masyarakat Arab tidak
lebih heterofobia dibandingkan dengan Amerika.
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental
terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang digunakan.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada
subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum
privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya
politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari
(hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka
hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari,
seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian,
pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat
perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan
perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara
lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan
Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang
terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa
kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum
lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda,
khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. System hukum continental
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum
dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi
(dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim
dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang
menganut sistem hukum ini. Sistem hukum yang juga dikenal dengan nama Civil Law
ini berasal dari Romawi yang kemudian berkembang ke Prancis. Perkembangannya
diawali dengan pendudukan Romawi atas Prancis. Pada masa itu sistem ini dipraktekkan
dalam interaksi antara kedua bangsa untuk mengatur kepentingan mereka. Proses
ini berlangsung bertahun-tahun, sampai-sampai negara Prancis sendiri mengadopsi
sistem hukum ini untuk diterapkan pada bangsanya sendiri.Bangsa Prancis membawa
sistem ini ke Negeri Belanda, dengan proses yang sama dengan masuknya ke
Prancis. Selanjutnya sistem ini berkembang ke Italia, Jerman, Portugal,
Spanyol, dan sebagainya. Sistem ini pun berkembang ke seluruh daratan benua
Eropa. Ketika bangsa bangsa Eropa mulai mencari koloni di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin, sistem hukum ini digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa tersebut
untuk mengatur masyarakat pribumi di daerah jajahannya. Misalnya Belanda
menjajah Indonesia. Pemerintah penjajah menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental
untuk mengatur masyarakat di negeri jajahannya. Apabila terdapat suatu
peristiwa hukum yang melibatkan orang Belanda atau keturunannya dengan orang
pribumi, sistem hukum ini yang menjadi dasar pengaturannya. Selama kurang lebih
empat abad di bawah kekuasaan Portugis dan seperempat abad pendudukan
Indonesia, sistem hukum Eropa Kontinental yang berlaku.
Sekarang di bawah Pemerintah Transisi PBB (UNTAET),
sistem hukum ini tetap diberlakukan di Timor Lorosae. Pasal 3 Regulasi UNTAET
No. 1/1999 menyebutkan bahwa hukum yang berlaku di Timor Lorosae sebelum 25
Oktober 1999 tetap berlaku, sejauh tidak bertentangan dengan standar
internasional. Dengan demikian berarti sistem hukum Eropa Kontinental yang
diberlakukan Indonesia tetap berlaku. Hal yang membedakan sistem Civil Law
dengan sistem Common Law (yang juga disebut sistem Anglo-Saxon) adalah,
pertama, pada Civil Law dikenal apa yang dinamakan “kodifikasi hukum”. Artinya
pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara
sistematis dan lengkap. Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hukum,
penyederhanaan hukum, dan kesatuan hukum. Contoh hukum yang sudah dikodifikasi
dalam kitab undang-undang adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD). Kitab-kitab di atas ditulis dan disusun oleh pemerintah kolonial
Belanda dan diberlakukan di Indonesia sampai sekarang. Kedua, sistem hukum
Eropa Kontinental tidak mengenal adanya juri di pengadilan. Hakim yang
memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara selalu adalah majelis hakim
(panel), yang terdiri dari tiga orang. Kecuali untuk kasus-kasus ringan dan
kasus perdata, yang menangani bisa hakim tunggal.
II. Dilema Hirarkhi
Perundang-undangan dengan peraturan di luar Hirarkhi.
Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun
2004, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :
a.
Peraturan
Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama
dengan gubernur;
b.
Peraturan
Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota
bersama bupati/walikota;
c.
Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a dinyatakan
bahwa Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku
di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang
berlaku di Provinsi Papua.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa Qanun Aceh dan
Qanun Kabupaten/Kota merupakan peraturan perundang-undangan sejenis Peraturan
Daerah yang secara khusus hanya berlaku di Aceh karena kesitimewaan dan
kekhususannya sebagai daerah otonomi khusus Pemerintahan Aceh. Begitu pula
Perdasus dan Perdasi merupakan peraturan perundang-undangan sejenis Peraturan
Daerah yang secara khusus hanya berlaku di Provinsi Papua karena keistimewaan
dan kekhususannya sebagai daerah otonomi khusus Provinsi Papua. Oleh karena
Qanun, Perdasus, dan Perdasi merupakan peraturan perundang-undangan yang
sejenis dengan Peraturan Daerah pada umumnya tentunya Qanun, Perdasus, dan
Perdasi memiliki kedudukan yang setingkat dengan Peraturan Daerah.
Qanun dibedakan menjadi Qanun Aceh dan Qanun
Kabupaten/Kota. Qanun Aceh berlaku di tingkat Provinsi dan memiliki kedudukan
setingkat yang dengan Peraturan Daerah Provinsi. Qanun Kabupaten/Kota berlaku
di tingkat Kabupaten/Kota dan memiliki kedudukan yang setingkat dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berbeda halnya dengan Qanun, Perdasus dan
Perdasi hanya terdapat pada tingkatan Provinsi dan kedudukannya setingkat
dengan Peraturan Daerah Provinsi.
Berdasarkan uraian di atas, Qanun, Perdasus, dan Perdasi
merupakan peraturan perundang-undangan yang sejenis dan setingkat dengan
Peraturan Daerah pada umumnya sebagai bagian integral dari sistem hukum
nasional dan hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sesuai
dengan asas hirarki peraturan perundang-undangan maka Qanun, Perdasus, dan
Perdasi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kecuali diatur lain oleh undang-undang otonomi khusus terkait. Hal ini
sesuai dengan asas umum peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus dapat menyampingkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis).
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 235 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemerintah dapat
membatalkan qanun yang bertentangan dengan kepentingan umum; antarqanun; dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam
Undang-Undang ini.
Penggunaan istilah Qanun, Perdasus, dan Perdasi ini
sebagai nama lain dari Peraturan Daerah sesuai dengan hal-hal khusus yang
berkaitan dengan kondisi dan karakteristik daerah yang bersangkutan. Hal-hal
khusus yang membedakan Qanun, Perdasus, dan Perdasi dengan Peraturan Daerah
pada umumnya antara lain lembaga yang membentuk dan materi muatannya.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Peraturan Daerah ditetapkan oleh
kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Berbeda dengan Peraturan Daerah pada umumnya, Qanun Aceh disahkan oleh
Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Aceh, sedangkan Qanun Kabupaten/Kota disahkan oleh bupati/walikota
setelah mendapat persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota.
Perdasus dan Perdasi juga memiliki kekhususan tertentu
yang membedakan dengan Peraturan Daerah pada umumnya. Perdasus dibuat dan
ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua bersama-sama Gubernur dengan
pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua, sedangkan Perdasi dibuat dan
ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua bersama-sama Gubernur. Tata cara pemberian pertimbangan dan
persetujuan MRP tersebut diatur dengan Perdasi.
Aspek lain yang membedakan Qanun, Perdasus, dan Perdasi dengan
Peraturan Daerah pada umumnya adalah mengenai materi muatannya. Mengenai materi
muatan Qanun, Perdasus, dan Perdasi ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Materi Muatan Qanun,
Perdasus, dan Perdasi
Sebagaimana dituliskan pada bagian sebelumnya bahwa
Qanun, Perdasus, dan Perdasi sebagai Peraturan Daerah yang bersifat khusus
memiliki kedudukan yang sama dengan Peraturan Daerah pada umumnya sebagai
bagian dari sistem hukum nasional dalam kerangka hirarki peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Pengaturan mengenai materi muatan peraturan daerah
selain tunduk kepada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan juga tunduk kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai undang-undang yang lebih spesifik
mengatur mengenai pemerintahan daerah. Bagi daerah yang berstatus sebagai
daerah otonomi khusus tentunya pengaturan mengenai materi muatan daerah selain
tunduk kepada kedua undang-undang tersebut, juga tunduk kepada undang-undang
otonomi khusus bagi daerah yang bersangkutan.
Dengan demikian, materi muatan Qanun adalah materi
muatan Perda pada umumnya kecuali diatur lain oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh dan ditambah dengan materi muatan yang
diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Begitu pula materi muatan Perdasus dan Perdasi
adalah materi muatan Perda pada umumnya kecuali diatur lain oleh
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
dan ditambah dengan materi muatan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dengan demikian untuk memahami apa saja materi muatan
Qanun, Perdasus, dan Perdasi terlebih dahulu harus dipahami materi muatan
peraturan daerah secara umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan
pelaksanaannya.
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Materi muatan Peraturan Daerah
adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih
lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah beberapa pasal mengatur mengenai materi muatan Perda.
Ketentuan yang menjadi landasan bagi pengaturan materi muatan Peraturan Daerah
adalah Pasal 10 yang terdiri dari 5 (lima) ayat sebagai berikut.
(1)
Pemerintah
Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan
Pemerintah.
(2)
Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-seluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3)
Urusan
pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal
nasional; dan
f. agama.
(4)
Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan
pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah atau
dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa.
(5)
Dalam
urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah, di luar urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat:
a.
Menyelenggarakan
sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b.
Melimpahkan
sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintahahan; dan
c.
menugaskan
sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.
Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tersebut merupakan aturan umum mengenai materi muatan Peraturan Daerah. Pasal
10 ayat (1) menentukan bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang sangat
luas, kecuali kewenangan yang menyangkut urusan politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang
ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-seluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian
materi muatan Peraturan Daerah mencakup aspek yang sangat luas yaitu seluruh
materi yang berkaitan dengan urusan pemerintahan diluar 6 (enam) urusan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat ditambah dengan tugas pembantuan yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat.
Tentunya selain 6 (enam) kewenangan yang ditentukan
menjadi kewenangan pemerintah pusat tidak begitu saja dibagi habis menjadi
kewenangan pemerintahan daerah. Pemerintah pusat masih memiliki kewenangan
lainnya yang dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 11 sampai dengan 18 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004.
Saat ini, setelah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sudah
terdapat pengaturan yang baku mengenai batasan-batasan kewenangan antara
Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. Dengan adanya Peraturan Pemerintah ini, tentunya daerah akan
lebih mudah memahami urusan apa saja yang menjadi kewenangannya dan materi
muatan apa yang perlu dibentuk menjadi suatu Peraturan Daerah.
III. Judicial Review
Judicial
review dalam system hukum common law acapkali dipahami sebagai upaya pengujian
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh badan peradilan, walaupun
dalam konteks cakupan kewenangan yang lebih luas, karena kadangkala menguji
pula produk administrasi (administrative Acts).
Mahkamah Konstitusi RI adalah constitutional court yang ke-78 di dunia,
dibentuk berdasarkan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 24C UUD NRI Tahun
1945, di kala Perubahan Ketiga UUDNRI Tahun 1945, diputuskan dalam Rapat
Paripurna MPR RI ke-7 ( lanjutan 2),tanggal 9 November 2001, Sidang Tahunan
MPR-RI.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final guna-antara lain- menguji undang-undang terhadap UUD.
Putusan final Mahkamah, sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 tidak
membuka peluang bagi upaya hukum banding, kasasi ataupun upaya hukum lainnya.
Menurut Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, terdapat 2 (dua) macam pengujian undang-undang, yakni:
Mahkamah
Konstitusi tidak membatalkan keberlakuan suatu undang-undang tetapi menyatakan
bahwasannya suatu undang-undang, atau materi ayat, pasal dan/atau bagian
undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally
binding). Mahkamah tidaklah dapat mengubah rumusan redaksi ayat, pasal
dan/atau bagian undang-undang.
Legal standing (lazim dialih bahasakan: kedudukan hukum) mendasari pembenaran
subyektum pencari keadilan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke
hadapan Mahkamah Konstitusi. Pemohon harus dapat mendalilkan legal standing
yang mendasari pengajuan permohonan pengujiannya itu. Legal standing adalah entitle
atau hak yang membenarkan subyektum mengajukan permohonan pengujian
undang-undang.
- Perorangan warga negara
Indonesia, termasuk kelompok orang perorang yang mempunyai kepentingan
sama;
- Kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;
- Badan hukum publik atau privat,
atau;
- Lembaga negara.
Hanya
subyektum (‘pihak’) yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yang dapat dipandang memiliki
legal standing guna pengajuan permohonan pengujian undang-undang ke hadapan
mahkamah. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dianggap merugikan itu. (Pasal
51 ayat (2) Undang-UndangNomor 24 Tahun 2003).
Namun,
bila melihat kasus dalam perkara MachryHendra, SH, hakim pengadilan negeri
Padang, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 004/PUU-I/2003 tanggal
30 Desember 2003, pernah menyampingkan (opzijleggen, to put aside,
exeption d’illegalite) Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tatkala
pemohon memohonkan pengujian Pasal 7 ayat 91) huruf g Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Mahkamah bukan menyatakan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak mengikat secara hukum, tetapi
menyampingkan pasal dimaksud guna menguji pasal undang-undang tertentu.
IV. Peranan Mahkamah Konstitusi Sebagai
Penjaga
Reformasi nasional tahun 1998 telah membuka peluang
perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (kemudian akan kita sebut UUD RI 1945) yang disakralkan oleh Pemerintah
Orde Baru untuk tidak direvisi. Setelah reformasi, konstitusi Indonesia telah
mengalami perubahan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999,
2000, 2001, dan 2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari UUD RI 1945
adalah dengan telah diadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan antara
lain prinsip pemisahan kekuasaan dan 'checks and balances' sebagai pengganti
sistem supremasi parlemen. Dalam Pasal 24C hasil perubahan ketiga UUD RI 1945,
dimasukkannya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi kedalam konstitusi negara
kita sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan organ
konstitusi lainnya. Fungsi Mahkamah Konstitusi telah dilembagakan berdasarkan
Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24,
2003), sejak tanggal 13 Agustus 2003. Hal ini disahkan dengan adanya ketentuan
Pasal 24C ayat (6) UUD RI 1945 yang menentukan: "Pengangkatan dan
pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang." Oleh karena itu, sebelum
Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai mestinya, Undang-undang tentang Mahkamah
Konstitusi terlebih dahulu ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 13 Agustus
2003 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi telah dilakukan dengan
proses rekruitmen calon hakim menurut tata cara yang diatur dalam Pasal 18 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang berbunyi "Hakim Konstitusi
diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh
DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan
Presiden".
Mahkamah Konstitusi secara resmi dibentuk dengan adanya
Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 dan setelah pelantikan dan pengucapan sumpah
tanggal 16 Agustus 2003, maka kewenangan transisi Mahkamah Agung yang dibebani
tugas oleh pasal III Aturan Peralihan UUD RI 1945, untuk melaksanakan segala
kewenangan Mahkamah Konstitusi telah berakhir. Untuk itu pada bagian berikut
ini akan kita bahas kewenangan mahkamah konstitusi sebagai alat untuk
melaksanakan peranannya sebagai penjaga konstitusi seperti yang diatur dalam
UUD RI 1945.
Dalam menjalankan peranannya sebagai penjaga konstitusi,
yaitu melakukan kekuasaan kehakiman seperti diatur dalam ketentuan Pasal 24
ayat (2) UUD RI 1945. Sedangkan yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan mahkamah konstitusi diberi beberapa kewenangan (Pasal 24 ayat (1)
UUD RI 1945). Adanya sebuah kekuasaan kehakiman yang bebas adalah salah satu
prasyarat bagi negara hukum disamping syarat-syarat yang lainnya.
Untuk memahami peran yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi, haruslah dikaji dengan komprehensif kewenangan-kewenangan yang
diberikan oleh UUD RI 1945 kepada lembaga ini. Pasal 24 C ayat (1) menyebutkan
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir dimana putusannya bersifat final. Dari ketentuan tersebut berarti Mahkamah
Konstitusi bersifat tunggal yang tidak mempunyai peradilan yang berada
dibawahnya dan tidak merupakan bawahan dari lembaga lain. Hal ini berbeda
dengan Mahkamah Agung yang mempunyai peradilan-peradilan dibawahnya dan
merupakan puncak dari peradilan-peradilan yang berada dibawahnya. Dengan
ketunggalannya dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalam sebuah forum
khusus untuk melakukan kewenangannya. Didalam menjalankan perannya sebagai
penjaga konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diberi
kewenangan seperti yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 yang
kemudian dipertegas dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili:
- Menguji undang-undang terhadap UUD RI 1945;
- Memutus sengketa kewenangan antar lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945;
- Memutus pembubaran partai politik;
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilu;
- Memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, danatau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden,
sebagaimana dimaksud dalam UUD RI 1945.
Pelanggaran hukum yang diduga dilakukan presiden yang
disebut dalam pasal 10 ayat (2) UU No. 24, 2003, telah diperjelas dalam ayat
(3) dengan memberi batasan sebagai berikut:
- Penghianatan terhadap negara adala tindak
pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang;
- Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana
korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang;
- Tindak pidana berat lainnya adalah tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
- Perbuatan tercela adalah perbuatan-perbuatan
yang dapat merendahakan martabat Presiden danatau Wakil Presiden;
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
danatau wakil presiden adalah syarat sebagaimana dtentukan dalam pasala 6
UUD RI 1945.
Dari kewenangan yang disebutkan diatas terlihat bahwa
sengketa yang diperkarakan dan diadili Mahkamah Konstitusi sangat banyak
berkaitan dengan proses politik, sebagian besar merupakan perselisihan yang
syarat dengan sifat politik sebagai salah satu karakteristik sengketa. Jadi
yang dikemukakan oleh Agung Laksono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa
Mahkamah Konstitusi untuk tetap memegang komitmen dalam menjalankan tugasnya di
wilayah hukum dan tidak memasuki wilayah politik adalah kurang begitu tepat
(Kompas 11 Oktober, 2005). Sudah barang tentu hal ini juga akan mempunyai
dampak pada pihak-pihak yang dapat menggerakkan mekanisme Konstitusional
kontrol oleh berbagai lembaga negara.
Diberbagai negara didunia sebanyak lebih kurang 78
negara yang dalam konstitusinya juga mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi,
semenjak Hans Kelsen merancang undang-undang dasar Austria dan memasukkan
lembaga ini dalam konstitusi Austria. Sebagian besara negara-negara demokrasi
yang sudah mapan kecuali Jerman, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi
yang berdiri sendiri. Fungsinya dicakup dalam fungsi Mahkamah Agung yang ada
disetiap negara (Jimly Asshiddiqie. 2003).
Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi
dapat dibedakan menjadi dua. Yaitu kewenangan utama, dan kewenangan tambahan.
Kewenangan utama meliputi: (a) pengujian undang-undang terhadap UUD, (b)
memutus keluhan konstitusi yang diajukan oleh rakyat terhadap penguasa (UUD RI
1945 tidak memberikan kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi), sebaiknya
Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan utamanya yaitu untuk memutus memutus
constituional complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa seperti Mahkamah
konstitusi Austria, Itali, Jerman dan lainnya. Dengan diberikannya kewenangan
tersebut, Mahkamah Konstitusi wajib menerima dan memutus permohonan dari rakyat
bilamana adanya produk peraturan yang berada dibawah undang-undang seperti
Keputusan Presiden, Penetapan Presiden, Instruksi Presiden danatau Peraturan
Presiden untuk diajukan judicial review. Seperti kita ketahui bahwa Peraturan
Presiden no 552005 tentang harga BBM yang mengacu pada Undang-undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dimana Pasal 28 ayat (2) dan (3), telak
di dikoreksi dalam judicial review Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Desember
2004 karena dinilai bertentangan dengan UUD RI 1945. Tanpa diberi kewenangan
tersebut diatas maka Mahkamah Konstitusi belum bisa melakukan perannya sebagai
penjaga konstitusi secara tuntas dan menyeluruh. (c) memutus sengketa
kewenangan antar lembaga negara. Sedangkan kewenangan tambahan dapat bervariasi
antara negara satu dengan yang lainnya. UUD RI 1945 memberikan kewenangan
tambahan tersebut berupa; (a) pembubaran partai politi, (b) perselisihan hasil
pemilihan umum, (d) pemberian putusan Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden danatau wakil presiden.
Peranan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi
melalui kewenangannya sebagai sebuah lembaga peradilan oleh UUD RI 1945,
mencerminkan semangkin kuatnya penuangan prinsip negara hukum dalam UUD RI 1945
setelah adanya perubahan. Pilar yang sangat fundamental yang diletakkan dalam
UUD RI 1945 untuk memperkuat prinsip negara hukum adalah perumusan pada Pasal 1
ayat (2), yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan adanya perumusan ini, maka
Indonesia yang menganut asas demokrasi dalam penyelenggaraan kenegaraan
menyandarkan mekanisme demokrasinya kepada hukum, yaitu UUD RI 1945. Hak-hak
yang diakui dalam UUD RI 1945 , dan tata cara pelaksanaan demokrasi didalamnya
menjadi rambu-rambu bagi pelaksanaan demokrasi. Karena demokrasi tanpa hukum
akan mengarah menjadi anarki. Pelanggaran terhadap konstitusi dapat dilakukan
dalam beberapa bentuk. Meskipun DPR yang anggotanya dipilih dalam pemilihan
umum dan Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, yang berarti keduanya
mempunyai dasar legitimasi perwakilan aspiratif, namun, dalam prinsip negara
hukum kedua lembaga ini tetap dapat melakukan pelanggaran terhadap konstitusi
(Harjono. 2003). Dengan ditetapkannya mekanisme pembuatan undang-undang dalam
UUD RI 1945, yang melibatkan kedua lembaga ini, DPR dan Presiden, maka produk
bersama dari kedua lembaga ini, yaitu undang-undang secara potensial pun dapat
menyimpang dari UUD RI 1945. Sebuah undang-undang dapat menjadi objek
legislative review, yang dilakukan oleh badan legislative yang membuatnya.
Namun, haruslah diingat bahwa legislative review masih tetap didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan politik karena memang produk dari lembaga politik.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji undang-undang adalah untuk
menjaga menegakkan konstitusi bilamana terjadi pelanggaran konstitusi oleh
undang-undang. Dengan mekanisme ini jelas bahwa peranan Mahkamah Konstitusi
dalam ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menjaga jangan sampai terjadi
pelanggaran konstitusi oleh lembaga negara.
Mahkamah Konstitusi yang melaksanakan fungsi peradilannya
untuk melakukan uji undang-undang harus membatasi dirinya jangan samapai
menjadi super body dalam pembuatan undang-undang yang terjebak untuk menjadi
lembaga yang mempunyai hak "veto" secara terselubung. Dalam hal
pembuatan undang-undang harus dipahami secara kesistiman bahwa terdapat tiga
kategori substansi dalam konstitusi; (a) pembuat undang-undang diberi
kewenangan penuh untuk mengatur dan menetapkan, (b) dalam mengatur dan
menetapkan pembuat undang-undang dengan kualifikasi atau pembatasan, (c)
pembuat undang-undang tidak diberi kewenangan untuk mengatur dan menetapkan
karena telah ditetapkan dan diatur sendiri oleh konstitusi.
UUD RI 1945 telah mendistribusikan kewenangannya kepada
beberapalembaga negara. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut sangat mungkin
akan terjadi dimana satu lembaga negara menggunakan kewenangannya melampaui
batas kewenangan yang diberikan kepadanya sehingga melanggar kewenangan lembaga
lain. Dengan adanya perubahan UUD RI 1945, hubungan antar lembaga negara
diposisikan secara fungsional, dan tidak secara hirarkis, maka diperlukan
sebuah lembaga yang secara final dapat memutus perselisihan kewenangan antar
lembaga negara. Mahkamah Konstitusi berperan sebagai lembaga peradilan yang
memutus sengketa antar kewenangan lembaga negara. Sebelumnya peran ini
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dimana sebagai sebuah lembaga
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat yang omnipotent, yang berwenang untuk
melakukan apa saja termasuk didalamnya untuk menmyelesaikan persengketaan yang
timbul antar lembaga negara. Dapat diartikan bahwa peran Mahkamah Konstitusi
sebagai penjaga konstitusi dalam sistem check and balances antar lembaga
negara. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana tata cara pengajuan permohonan
ke Mahkamah Konstitusi.
3. Tata Cara Pengajuan Permohonan
Untuk melaksanakan peranannya menjaga konstitusi,
Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan mekanisme constitutional control,
digerakkan oleh adanya permohonan dari pemohon yang memiliki legal standing
untuk membela kepentingannya. Pemilihan kata pemohon dan bukan gugatan yang
diajukan kepada Mahkamah Konstitusi bilamana dibandingkan dengan Hukum Acara
Perdata, seolah-olah perkara itu merupakan perkara yang bersifat satu pihak (ex
parte) dan tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai pihak atau termohon dan
yang mempunyai hak melawan permohonan tersebut. Hal ini tidak selalu benar,
karena dalam jenis perkara tertentu harus ada pihak yang secara tegas
ditetapkan dan ditarik sebagai pihak, dan yang mempunyai hak untuk menjawab
atau menanggapi permohonan tersebut (Maruarar, Siahaan. 2003).
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2002
tentang tata cara penyelenggaraan wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah
Agung dalam Pasal 1 ayat (7) dan (8) membedakan permohonan dan gugatan.
Terhadap perkara:
- Pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar;
- Sengketa wewenang antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang dasar RI 1945;
- Memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden danatau wakil presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7B ayat
(1) UUD RI 1945 dan perubahannya.
Diajukan dalam permohonan yang merupakan permintaan
untuk diputus. Di pihak lain jika perkara yang diajukan adalah mengenai:
- Pembubarana partai politik;
- Perselisihan hasil pemilihan umum.
Maka harus dengan gugatan yang merupakan tuntutan yang
diajukan secara tertulis.
Undang-undang No. 24 tahun 2003 menyebutkan bahwa semuanya diajukan dengan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, ditanda tangani oleh pemohon kuasa, diajukan dalam 12 rangkap dan syarat-syarat yang harus dipenuhi disebut dalam Pasal 31 adalah sebagai berikut:
Undang-undang No. 24 tahun 2003 menyebutkan bahwa semuanya diajukan dengan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, ditanda tangani oleh pemohon kuasa, diajukan dalam 12 rangkap dan syarat-syarat yang harus dipenuhi disebut dalam Pasal 31 adalah sebagai berikut:
- Nama dan alamat pemohon;
- Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar
permohonan;
- Hal-hal yang diminta untuk diputus.
Permohonan itu harus pula melampirkan bukti-bukti
sebagai pendukung permohonan, yang menunjukkan permohon bersungguh-sungguh.
Dengan kata lain, pemohon harus memuat identitas piha-pihak posita dan petitum.
Tapi Undang-undang No. 24 tahun 2003 tidak mengharuskan disebut termohon.
Karena sifatnya yang lebih banyak melibatkan lembaga-lembaga negara dan khusus
tentang pengujian undang-undang terhadap UUD RI 1945, yang berada dalam posisi
sebagai termohon tidak terlalu menentukan karena putusan yang diminta adalah
bersifat deklaratif terhadap aturan yang berlaku umum juga dilain pihak oleh
karena adanya kewajiban Mahkamah Konstitusi memanggil para pihak yang
berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan danatau meminta keterangan
secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan termohon, maka yang
menentukan termohon itu adalah Mahkamah Konstitusi. Meski tidak secara tegas
disebut perlu dimuat siapa yang menjadi termohon, sebagai pihak yang paling
berwenang dan berkepentingan menjawab gugatan tersebut, secara praktis dengan
penunjukan termohon. Termohon dapat dipanggil untuk memberikan keterangan. Bisa
juga dianalogikan keterangan tersebut dengan jawaban dalam Hukum Acara Perdata.
Hal ini untuk memenuhi tenggang waktu yang disebut Pasal 4i ayat (3) yang
menentukan paling lambat tujuh hari kerja sejak permintaan Hakim Konstitusi
diterima, lembaga negara yang bersangkutan wajib menyampaikan penjelasan.
Permohonan dapat disatukan dengan panggilan sebagaimana disebutkan dalam Acara
Perdata.
Memang secara spesifik dalam perkara pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak disebut siapa yang menjadi
termohon, tapi dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara, pembubaran
partai politik, impeachment, termohon harus ditulis secara tegas. Khusus
mengernai sengketa kewenangan antar lembaga negara, Mahkamah Konstitusi dapat
mengeluarkan penetapan yang memerintahakan pihak pemohon danatau termohon untuk
menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai
dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Tanpa adanya penyebutan termohon secara
tegas dalam penetapan yang sifatnya menghentikan kewenangan sementara, maka
putusan itu boleh jadi tidak mempunyai arti apa-apa, karena tidak jelas siapa
yang wajib melaksanakan perintah tersebut. Hal yang lebih tegas lagi adalah
ketika permohonan untuk membatalkan hasil pemilu dan pembubaran partai politik
dikabulkan, maka harus jelas siapa yang wajib melaksanakan keputusan hakim
Mahkamah Konstitusi tersebut.
Mahkamah konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus
dalam sidang plenonya dengan sembilan (9) Hakim Konstitusi, akan tetapi dalam
keadaan luar biasa dengan tujuh (7) Hakim. Itulah sebabnya surat permohonan
diajukan dua belas (12) rangkap, karena disamping dibagikan pada sembilan (9)
Hakim, juga harus disampaikan kepda presiden dan DPR dalam waktu tujuh (7) hari
sejak permohonan dicatat dalam register perkara konstitusi. Mahkamah Agung,
menurut Pasal 53 cukup diberi tahu tentang permohona judicial review. Namun,
tidak diatur secara tegas bahwa permohonan disampaikan ke Mahkamah Agung, yang
mempunyai arti bahwa tidak perlu diberkanan copy surat permohonan. Salah satu
perbedaan dengan gugatan dalam perkara perdata adalah permohonan yang diajukan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat didaftar harus telah menyertakan alat
bukti yang mendukung permohonan tersebut (Pasal 32 ayat (2) dan (3) UU No. 24
tahun 2003). Karena masih ada proses untuk memeriksa perkara dan alat-alat
bukti, maka hal ini harus ditafsirkan sebagai bukti awal yang menunjukkan
kesungguhan permohonan tersebut dan bukan hanya bertujuan untuk menimbulkan
sensasi atau uji coba. Selanjutnya kita akan membahas siapa yang dapat
mengajukan permohonan pada bagian berikut.
3. Siapa yang Dapat Mengajukan Permohonan
Yang berhak mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi
adalah setiap orang yang memiliki kepentingan hukum atau kewenangan yang
dilanggar dan dirugikan dengan kata lain bahwa yang bersangkutan harus mempunya
legal standing untuk mengajukan permohonan. Pemohon untuk setiap jenis perkara
konstitusi berbeda.
A. Pengujian Undang-undang terhadap UUD RI 1945
Permohonan untuk pengujian undang-undang terhadap UUD RI
1945 dapat dilakukan bagi yang menganggap hak danatau kewenangan
konstitusionalnya sedang dan akan dirugikan dengan berlakunya suatu
undang-undang terdiri dari:
- Individu atau perorangan warga negara
Indonesia;
- Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara
kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
- Badan hukum publik atau privat; atau
- Lembaga negara.
Keempat kategori yang disebut diatas, jika hak dan
kewenangan konstitusionalnya dilanggar oleh berlakunya satu undang-undang
mempunyai legal standing, untuk mengajukan permohonan.
B. Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara
Pihak yang mengajukan permohonan dalam hal ini adalah
lembaga negara yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan, akan tetapi lembaga negara dimaksud harus secara khusus yang
kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945. Kalau diteliti dalam UUD RI 1945, secara
tegas dapat disebut MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, Pemerintah Daerah, Pemerintah
Provinsi yang dibagi atas Kabupaten dan Kotamadia. Mahkamah Agung sebagai
lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD RI 1945 tidak dapat menjadi
pihak baik pemohon maupun termohon dalam sengketa kewenangan antar lembaga
negara (Pasal 65 UU 24 2003).
C. Pembubaran Parta Politik
Pemohon dalam sengketa pembubaran partai politik adalah
pemerintah dan lebih jauh dijelaskan pemerintah pusat. Tetapi, departemen atau
lembaga dimana ewenangnya memohon hal semacam ini dari pemerintah pusat?
Sebagai wakil untuk mengajukan permohonan adalah Jaksa Agung. Tapi boleh jadi
dalam prakteknya nanti akan berkembang yang akan memungkinkan mengajukan
permohanan adalah departemen-departemen atau lembaga negara yang mempunyai
kaitan langsung dengan alasan pembubaran partai politik. Karena pemerintah
pusat adalah kesatuan, maka harus terlebih dahulu diperoleh izin atau perintah
atau penunjukan presiden sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan alasan yang
diajukan karena ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik
tertentu yang dianggap bertentangan dengan UUD RI 1945.
D. Perselisihan Hasil Pemilu
D. Perselisihan Hasil Pemilu
Perselisihan hasil pemilu merupakan sengketa tentang
hasil pemilu secara nasional yang dipandang penetapan Komisi Pemilihan Umum
mempengaruhi:
- Terpilihnya anggota DPD;
- Penetapan pasangan calon yang masuk pada
putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden serta terpilihnya
pasangan presiden dan wakil presiden;
- Perolehan kursi partai politik peserta
pemilu di satu daerah pemilihan.
Munculnya
sengketa ini adalah karena adanya perbedaan pendapat tentang hasil perhitungan
suara yang oleh pemohon dipandang tidak benar dan hanya dapat diajukan dalam
jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali 24 jam) sejak Komisi Pemilihan
Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Sedangkan
pemohon dalam sengketa ini adalah:
1. Perorangan warga
negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilu;
2. Pasangan calon Presiden Wakil Presiden peserta pemilu Presiden Wakil Presiden;
3. Partai politik peserta pemilu.
2. Pasangan calon Presiden Wakil Presiden peserta pemilu Presiden Wakil Presiden;
3. Partai politik peserta pemilu.
E. Pendapat DPR mengenai Pelanggaran oleh Presiden danatau Wakil
Presiden
Dalam hal ini yang dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini tentu melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 23 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 23 anggota DPR (Pasal 7 B ayat (3) UUD RI 1945).
Dalam hal ini yang dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini tentu melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 23 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 23 anggota DPR (Pasal 7 B ayat (3) UUD RI 1945).
4. Kesimpulan
Peranan
Mahkamah Konstitusi dalam menjaga Konstitusi melalui kekuasaan kehakiman
meliputi kewenangan utama dan kewenangan tambahan. Kewenangan utama meliputi;
(a) Pengujian undang-undang terhadap UUD RI 1945, (b) memutus constituional
complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa (UUD RI 1945 tidak memberikan
kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sedangkan
dinegara lain diberikan kepada mahkamah konstitusi), (c) memutus sengketa
kewenangan antar lembaga negara. Sebagai kewenangan tambahan dapat bervariasi
antara negara satu dengan negara lainnya. Sedangkan UUD RI 1945 memberikan
kewenangan tambahan kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu; (a)
pembubaran partai politik, (b) perselisihan hasil pemilihan umum, (c) pemberian
putusan DPR atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden danatau wakil
presiden.
Sebaiknya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan utamanya yaitu untuk memutus memutus constituional complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa seperti Mahkamah konstitusi Austria, Itali, Jerman dan lainnya. Dengan sendirinya bisa melakukan perannya sebagai penjaga konstitusi secara tuntas.
Sebaiknya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan utamanya yaitu untuk memutus memutus constituional complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa seperti Mahkamah konstitusi Austria, Itali, Jerman dan lainnya. Dengan sendirinya bisa melakukan perannya sebagai penjaga konstitusi secara tuntas.
DAFTAR PUSTAKA
Hajono.
2003. Kedudukan dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Kekuasaan Kehakiman dan
Ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Jimly,
Asshiddiqie. 2003. Mahkamah Konstitusi: Penomena Hukum Tata Negara. Mahkamah
Konstitusi.
Maruarar,
Siahaan. 2003. Prosedur Berperkara di Mahkamah Konstitusi dan Perbandingan
dengan Hukum Acara di Pengadilan Umum dan TUN. Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi.
Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah
Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum,
Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal
21
Satjipto
Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia, Kompas, 2003,23,24
Satjipto Rahardjo: Penafsiran Hukum Yang Progresif,
dalam : Anthon Freddy Susanto,SH,MH: Semiotika Hukum, Dekontruksi Teks
Menuju Progresifitras Makna, Efika Aditama, Bandung,
Satjipto Rahardjo: Modernisasi Dan Perembangan
Kesadaran Hukum Masyarakat, Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6
Tahun X/ 1980.
Eman
Suparman, asal usul serta landasan pengembangan ilmu hukum indonesia
(Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen), Esmi Warassih
Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan
Sorjono Soekanto, Masalah Kedudukan dan Peranan
Hukum Adat, Academica, Jakarta 1979.
Eman Suparman, asal usul serta landasan pengembangan ilmu hukum
indonesia (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen)
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan
Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998
Hilman Hadukusuma: Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003
Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat
Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1983, hal 14, lihat juga Abdulrahman ,SH : Hukum
Adat menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, 1984.
Abdulrahman , SH: Hukum Adat Menurut
Perundang-undanga Republik Indonesia, Cendana
Press, 1984
Soepomo, Kedududkan
Hukum Adat di Kemudian Hari, Pustaka Rayat, Jakarta
Sudjito Sastrodiharjo, Hukum adat Dan Realitas
Kehidupan, dimuat dalam : Hukum Adat dan Modernisasi Hukum,
Fakultas Hukum –Universitas Islam Indonesia,1998.
Sunaryati Hartono: Sumbangsih Hukum Adat bagi
Perkembangan Pembantukan Hukum Nasional dalam M.Syamsudin et al Editor:
Hukum Adat dan Mordernisasi Hukum, FH-UII,1998
Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang
Dunia II, Pradnjaparamita, Jakarta,cet 15 1997
Khundzalifah Dimyati, : Teoritisasi Hukum: Studi
Tentang Perkembangan Demikian Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2004 – 22.
Achid Masduki, Peranan Hukum Adat Dalam Mengatasi
Masalah Pemilikan pada Masyarakat Industri, dalam , Hukum Adat Dan
Modernisasi Hukum, UII, Jogyakarta
Harian Kompas 11 Oktober, 2005
Komentar
Posting Komentar